Sebuah cerita pendek
Setiap bulan saya memiliki agenda untuk bertemu dengan tokoh-tokoh besar. Bulan-bulan sebelumnya saya berhasil menggali pengalaman dan ide-ide dari tokoh-tokoh 'panutan' yang ada di wilayah kami. Atas saran teman-teman mahasiswa, bulan Juli ini saya ingin bertemu dengan Madus, sang tokoh kontroversial. Di mata kami sebagai mahasiswa pejuang, Madus ini berpeluang menjadi pemimpin besar. Karakter 'buasnya' seakan mampu memuluskan dirinya untuk menggapai pucuk pimpinan. Apalagi pucuk pimpinan lembaga wakil rakyat yang sekarang sering makan gelap proyek-proyek pembangunan. Madus mungkin bisa dipercaya untuk memberantas mafia proyek di lembaga ini. Mungkin.
***
Matahari di langit kota Labuan Bajo amat panas. Saya melihat arloji dan angka jam menunjukkan pukul 12:30. Saya menyetop travel di pertigaan pasar baru.
"Ke Borong om, bisa?
"Mai ga [ayo masuk]" jawab sopir.
Sekonyong-konyong mobil berangkat. Akhirnya saya bisa tinggalkan kota pariwisata premium yang super panas ini. Sementara itu, debu jalanan beterbangan di antara suasana panas dan proyek pinggiran jalan. Sedikit lagi kota akan berubah wajahnya, pikir saya dalam hati.
Ada 4 orang penumpang di dalam mobil Avansa ini. Belakangan saya tahu sopir ini bernama Largus. Semua penumpang menuju ke Borong. Masing-masing memiliki urusan di ibu kota Manggarai Timur itu. Semangat saya tak pernah sedikit pun kendur walau agak lapar. Largus mengiayakan ketika saya minta berhenti di Lembor untuk makan siang.
Bayang-bayang Madus seperti selalu memanggil untuk cepat tiba di Borong. Teringat janji beliau untuk bertemu saya beberapa hari lalu. Saya masih di Jakarta saat itu, menyelesaikan beberapa matakuliah yang ujiannya dari kos akibat pandemi covid 19. Percakapan dengan Madus yang penuh dengan motivasi membuat saya yakin jika beliau adalah kader unggulan partai milik mantan perwira itu.
'Saya mau bertemu nana' kata Madus kala itu. Dia mengutarakan niatnya bertemu itu untuk berdiskusi. Mungkin diskusi soal perdebatan tambang dan pabrik semen di Lingko lolok, pikirku. Mungkin.
Largus, sopir kami ini adalah putra Manggarai Timur. Ia lahir dan dibesarkan di Watu Nggong.
"Kae, saya dari Watunggong e"
"Ia kah? Saya pernah berkunjung ke sana e. Lima tahun lalu"
"Saya mungkin masih SMP waktu itu" jawab Largus.
Saya bertanya apakah ia pernah kuliah. Ternyata semenjak lulus dari salah satu sekolah menengah di Watu Nggong, Largus tidak bisa lanjut kuliah. Kendala biaya.
"Orang tua tidak mampu kae" terang Largus. Untungnya saudari dari Bapaknya punya mobil ini. Largus kemudian dilatih jadi sopir. Dan sekarang ia mengarungi jarak Borong - Labuan Bajo PP untuk mencari nafkah.
"Bo ngoeng kuliah kae, tapi co'oy?" Kata Largus lagi. Mau kuliah, tapi bagaimana?
Begitulah. Largus juga mendengar perihal perdebatan soal tambang dan pabrik semen. Bukan urusan dia, katanya. Saya hanya tersenyum mendengar simpulannya ini.
****
Matahari condong ke barat. Warnanya merah keemasan ketika kami menuruni tikungan-tikungan di Sita. Pohon-pohon mangga di pinggir jalan sedang berbunga dengan meriahnya. Musim buah mangga sebentar lagi tiba.
Suara Madus kali lalu masih terngiang kuat di telinga. Saya mengingat suaranya melebihi ingatan suara Bapak saya di pedalaman Elar. Mungkin karena Elar jauh dan Borong sudah saya bisa rasai hawanya. 'Saya ingin bertemu nana' suara itu lagi muncul mendesirkan semangatku dalam dada.
Untuk mengobati rinduku pada Bapak di Elar, saya meneleponnya sejenak. Mereka pasti kaget, pikirku. Saya tidak mengabari mereka jika sore ini saya tiba di Borong.
"Sore Bapa, aku ce Borong ho'o ga"
"Hae, hau toe tei kabar e! Manga apa sili Borong?" Suara Bapak menanyai tujuan saya pergi ke Borong dengan nada keheran-heranan.
Tentu saya memberitahu Bapak. Dan rencana saya bertemu Madus membuat Bapak cemas. Entahlah. Bapak mungkin kaget karena saya bertemu tokoh. Atau mungkin ia cemas karena hal lain. Bapak memutuskan sambungan telepon. Kerlip cahaya kunang-kunang menyebar di bawah jembatan. Hati saya riuh.
"Saya sudah tiba di Borong, Pak" begitu saya menelepon Madus. Tanpa ragu. Semoga malam ini saya bisa berdiskusi panjang di rumahnya. Lelah ini pasti hilang. Saya akan menggali seluruh kemampuan dan kecakapan Madus. Biar kami mahasiswa pejuang bisa sedikit belajar dari pengalaman beliau yang sudah malang melintang 20 tahun di Jakarta.
"Saya cari kau di Jakarta sini, ba**sat!" Begitu suara Madus dari sebelah. "Ole! saya cari Bapak di Borong ini!" Sedikit menyesal saya menjawab Madus.
Mengecewakan!!
F**k you Madus.
Kisah ini pun jadi viral di masyarakat. Saya menyesal telah dibohongi oleh calon tokoh panutan kami ini. Akhirnya saya kembali ke Jakarta, terus memburu Madus.
BERSAMBUNG ... ...
Comments
Post a Comment